Sulitnya Mencari Sumber Air Baku

0 comments

Image hosting by Photobucket

Sabtu (25/6) petang itu puluhan pedagang air keliling tampak berkumpul di sekitar pabrik kue, dekat Situ Aksan, Bandung, Jawa Barat. Gerobak mereka diparkir sesuai urutan kedatangan, untuk menunggu giliran pengisian air dari sumur bor milik salah seorang pengusaha industri rumah tangga setempat. Setiap gerobak rata-rata memuat 10 hingga 12 jerigen air berkapasitas 20 lt. Pemilik sumber air ini memasang tarif seribu untuk satu jerigen. Para pedagang air ini kemudian menjualnya kembali ke masyarakat dengan harga antara 15 ribu hingga 18 ribu rupiah per-gerobak.

Konon sebelumnya para pedagang ini hanya berjualan pada saat musim kemarau tiba. Namun sejak pabrik-pabrik banyak bermunculan di kawasan ByPass (Baca : Soekarno Hatta), Holis, dan Pagarsih di akhir tahun 80 – an, pemandangan lalu-lalang pedagang air keliling ini menjadi sangat mudah dijumpai. Hadirnya industri yang menyebabkan sumur warga setempat mengalami kekeringan menjadi salah satu faktor penyebab menjamurnya pedagang air keliling tersebut. Sungguh ironis, daerah yang dulunya merupakan sisa danau di cekungan Bandung itu kini harus kesulitan air.

Suplai air bersih dari PDAM yang diharapkan warga setempat pun belakangan sangat sulit diandalkan. Bila pun mengalir, itu baru datang saat tengah malam tiba, dan tak jarang baru mengalir saat dini hari menjelang subuh. Jangan bayangkan airnya mengalir deras seperti air pancuran. Bisa mengalir sebesar ekor tikus pun sudah bagus.

Kondisi di atas hanyalah satu contoh kasus. Keadaan serupa kini marak dijumpai di berbagai daerah, terutama di kota-kota besar. Di masa kini, penduduk harus berjuang ekstra demi mendapatkan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Berbagai alternatif solusi dicari oleh masyarakat. Salah satunya tentu dengan membeli dari pedagang air keliling. Kendati bagi sebagian orang, membeli air bersih ini sangat berat, mengingat harganya yang tidak murah.

***
Air bersih memang merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkan sumber air beberapa dekade lampau kondisinya tidak sesulit sekarang. Mata air banyak, air dari sumur berlimpah, bahkan air permukaan pun masih layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi dalam tahun-tahun belakangan ini, terutama pada kawasan perkotaan menyebabkan kebutuhan air bersih terus meningkat. Bandung saja contohnya. Dengan jumlah penduduk sekitar 2,5 juta jiwa dan asumsi kebutuhan air bersih per hari perorang sebanyak 150 liter, maka kebutuhan air yang harus tersedia sekira 140 juta m3/tahun. Kebutuhan air bersih untuk industri diperkirakan mencapai 132 juta m3/tahun, sedangkan untuk keperluan sosial (tempat ibadah dll.) dan perkantoran diperkirakan mencapai 30 juta m3/tahun. Dengan demikian, kebutuhan air bersih di kota ini mencapai 302 juta m3/tahun.

Sedangkan pemenuhan kebutuhan air bersih yang disediakan melalui PDAM Kota Bandung, seperti dikutip Pikiran Rakyat baru bisa menyediakan sekira 560 liter/detik atau 17 juta m3/tahun, dengan proporsi sumber air bakunya 40% berasal dari air permukaan dan 60% dari air tanah.

Padahal bila kita berbicara sumber air baku dari mata air atau air tanah, semakin hari jumlahnya bukan bertambah justru semakin berkurang. Hal itu terjadi seiring dengan banyaknya perubahan peruntukan lahan terutama di daerah-daerah resapan air, maupun penempatan industri yang tidak sesuai tata ruang.

Untuk air permukaan, nasibnya pun tak jauh berbeda. Kualitas air buangan baik berupa grey water maupun black water dari rumah tangga dan industri yang tidak sesuai standar turut andil mencemarkan air permukaan. Hal ini menjadikan memilih air permukaan sebagai sumber air baku menjadi opsi terakhir, karena mahalnya biaya pengolahan.

Bila hal itu dibiarkan terus tanpa penanganan serius, bukan tak mungkin harga air akan terus membumbung layaknya harga BBM, akibat sulitnya mencari sumber air baku dan mahalnya biaya pengolahan.

***
Untuk mengembalikan kondisi cadangan air memang tidak semudah membalikan telapak tangan, karena membutuhkan waktu yang lama hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Namun setidaknya anda dapat berperan untuk memulai langkah tersebut.

Usaha penyelamatan air bukanlah upaya yang mengada-ada, karena bisa dimulai sejak di pekarangan rumah kita sendiri. Bagi anda yang masih memiliki sedikit lahan di rumahnya, kini bisa memulai untuk membuat sumur-sumur resapan, atau menghijaukan kembali pekarangan rumah dengan aneka tanaman.

Sedapat mungkin, hindari penggunaan lantai semen atau keramik di luar rumah atau pada pembuatan car port. Sebagai gantinya anda dapat menggantinya dengan paving blok, agar air hujan dapat meresap ke dalam tanah, tidak lagi sekedar lewat menjadi run off. Itu pun dengan catatan setiap dua tahun sekali harus dibongkar pasang atau diganti baru supaya air tetap dapat melewat celah-celah paving blok.

Untuk penghematan penggunaan air, bila memungkinkan lakukan pengolahan kembali atau gunakan air bekas rumah tangga untuk kebutuhan lainnya. Misalnya penggunaan air bekas wudhu untuk menyiram tanaman.

Langkah-langkah di atas hanyalah beberapa contoh kecil, tentunya masih banyak langkah lain yang dapat anda lakukan untuk mengembalikan cadangan air, maupun tips penghematan lainnya.

Semoga Hari Air Seluruh Dunia pada 22 Maret lalu mengingatkan kita kembali, bahwa cadangan air baku atau air bersih terutama di kota-kota besar kini sudah semakin menipis dan sulit didapat. Bila tidak kita mulai sekarang untuk turut berperan mengembalikannya, lalu kapan lagi ? (Indra KH)***



Image hosting by Photobucket

Hari Rabu (8/2) lalu, pukul 10.00 – 11.00 WIB, beberapa pakar dan praktisi telematika disaksikan insan pers berkumpul di Institut Teknologi Bandung. Mereka terlibat diskusi hangat membahas “Rencana Strategis Pemanfaatan Teknologi Telematika bagi Kemajuan Bangsa.” Seminar setengah hari tersebut digelar untuk menyikapi suasana yang tidak kondusif di Indonesia, terkait banyaknya pelaku telematika Indonesia yang tersangkut masalah hukum.

Diantara jajaran pembicara, hadir Ir. Adrie Tanuwidjaya, salah seorang pelaku usaha Telematika. Bila melihat sosoknya yag kalem, sekilas mungkin kita tidak akan menyangka kalau pria berwajah oriental, berkumis tipis dan berambut poni ala George Harrison ini pernah menginap selama 18 hari di kepolisian tanpa proses hukum yang jelas. Saat itu Adrie dituduh telah melakukan pencurian pulsa karena teknologi Voice Over Internet Protocol (VOIP) yang ia kembangkan.

Teknologi VOIP sendiri adalah salah satu teknologi yang menggabungkan teknologi jaringan internet dengan jaringan telepon. VOIP menggunakan jaringan internet untuk mengirimkan data-data suara (voice) secara realtime. VOIP juga kerap disebut sebagai IP Telephone, yakni telepon menggunakan jaringan IP. VOIP sendiri menggunakan transmisi packet-switched, berbeda dengan telepon konvensional.

Semenjak kejadian tersebut, Adrie mengaku kapok berinovasi atau berkreasi di bidang teknologi. Ia memilih banting setir menjadi supplier komputer yang dinilainya lebih aman dan minim resiko hukum. Alumnus Fisika ITB ini mengaku trauma berurusan dengan aparat hukum. Kendati hanya belasan hari di bui, namun menurut adrie, pengalaman yang dialaminya itu sangat sulit untuk dilupakan. “Waktu di penjara perasaan seperti waktu OS (Ospek – red) lagi,” tutur Adrie.

Adrie memang hanya salah satu contoh. Boleh jadi masih banyak Adrie-Adrie lain di Indonesia yang kemudian menjadi phobia untuk berkreasi sebagai akibat tidak jelasnya regulasi mengenai teknologi telematika di Indonesia. Prof. Dr Seto Hardjowahono, LLM, pakar hukum dari Universitas Parahyangan (UNPAR) Bandung, membenarkan kondisi tersebut. “Belum jelasnya regulasi ini akhirnya membuka celah bagi aparat penegak hukum untuk melakukan intrepretasi analogi terhadap bidang itu, yang digiring pada tindakan kriminal,” kata Seto.

Tentunya patut disayangkan, hanya karena kendala regulasi, kreativitas masyarakat terutama masyarakat telematika menjadi terhambat. Bahkan bukan tak mungkin, kreativitas menjadi mati akibat masyarakat telematika Indonesia memilih jalan aman, ketimbang terus menerus dihantui perasaan cemas tersangkut masalah hukum sebagai akibat intrepretasi analogi yang keliru.

Padahal dalam persaingan bisnis, kreativitas sebagai proses penciptaan berbagai ide dan konsep dan inovasi sebagai perwujudan ide-ide kreatif sampai menghasilkan nilai bisnis merupakan elemen utama untuk memperbarui maupun mencipta-ulang seluruh sajian nilai bisnis kita. Seperti bidang lainnya, bila telematika di Indonesia tidak diikuti kreativitas dan inovasi, sulit rasanya untuk berkembang.

Terkait kreativitas teknologi ini, Ir. Budi Rahardjo, PhD – pakar telematika Indonesia – mengungkapkan keprihatinannya. “Kondisi di indonesia tidak kondusif. Orang menjadi takut untuk berkreasi, karena salah-salah dituduh korupsi. Padahal tanpa ada inisiatif dan inovasi, matilah perusahaan kita,” demikian ungkap Budi dalam materi presentasinya yang ia bawakan di gedung Labtek VIII ITB, Rabu (8/2).

Jika kondisinya tetap seperti ini, pria yang juga Dosen ITB ini mengaku sangat mengkhawatirkan masa depan bisnis telekomunikasi di tanah air.

Ketika perusahan-perusahaan lain (asing – red) melakukan investasi dan inovasi, kita justru duduk terpaku. Akibatnya perusahaan perusahaan Indonesia akan kalah bersaing dari sisi infrastruktur dan layanan. Bayangkan, kalau sebuah perusahaan harus berkembang (karena nasabah makin bertambah) akan tetapi tidak mau berkembang atau tidak mau melakukan investasi (penambahan server, bandwidth, tenaga pekerja), maka layanan menjadi lambat dan buruk. Akibatnya orang akan memilih perusahaan lain. Selanjutnya perusahaan kita tersebut akan dijauhi orang dan nilai sahamnya anjlok. Kemudian … tinggal dibeli oleh perusahaan asing saja. Demikian tulis pakar network security tersebut dalam makalahnya. “Sebentar lagi kita akan menonton tayangan penting di Indonesia. Judulnya: Matinya Bisnis Telekomunikasi Indonesia !,” kata Budi Rahardjo.

***
Isu terbaru di tanah air terkait kreativitas teknologi adalah mengenai WiMax. Teknologi yang memungkinkan akses internet dapat dilangsungkan secara nirkabel, dengan jangkauan sampai 50 Kilometer dari titik akses ini dinilai sebagian kalangan belum saatnya diterapkan di Indonesia. Kendalanya kembali kepada regulasi yang belum ada. Padahal jika ujicoba WiMax tidak secepatnya kita lakukan, para user baik personal maupun industri akan semakin tertinggal dari bangsa lain.

Untuk urusan internet ini, kita jangan jauh-jauh membandingkan dengan negara-negara maju. Dukungan internet bagi pendidikan misalnya, kita harus mengaku kalah jauh dari Vietnam. Masih menurut Budi Rahardjo, beberapa perguruan tinggi di Asia telah mendapatkan bantuan dana untuk koneksi ke Internet, Namun dengan biaya yang sama hasilnya justru berbeda. Indonesia : 45 MB/sec, Vietnam: 150 MB/sec, dan China: 1 GB/sec. Sudah jelas resmi kita kalah dari Vietnam !” tandas Budi.

***
Untuk mengatasi beberapa kendala seperti dijelaskan di atas tentunya dibutuhkan grand desain dari sekarang. Semua aspek harus ambil bagian untuk membangun teknologi telematika tanah air. Tak cukup hanya pelaku telematika yang memahami. Regulator, aparat penegak hukum dan elemen terkait termasuk publik harus berusaha untuk paham. Begitu pun sebaliknya, masyarakat telematika Indonesia pun harus melek hukum agar tidak salah langkah. Hal tersebut mutlak dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan dan kesalahpahaman di antara mereka dan supaya berbagai kekeliruan yang pernah terjadi dapat diminimalisir.

Masyarakat telematika harus berbenah, begitupun elemen aparat dan regulator. Jangan lagi membuat celah di sisi hukum yang akhirnya menyebabkan intrepretasi analogi yang keliru, yang akhirnya berujung pada pemasungan kreativitas, khususnya kreativitas teknologi. (red/indra kh)***


Internet dan Fenomena Sosial

0 comments

Image hosting by Photobucket

Assalamu'alaikum wr wb ;-) Di absen dulu yaa... : Febriani di Jogja ;-), Andari di Malang ;-) Trisna di Perak ;-) Nitna di DPS ;-) Tika di Bogor ;-) Dayat di Jkt ;-) Nuur di Sukoharjo ;-) Chipi di Jkt ;-) Kang Adil di Bandung bareng Ryu ;-) Semoga sukses selalu amin... wassalam

Tulisan di atas hanyalah satu contoh pesan yang pernah tercantum dalam layanan silaturahmi, “Salam Sana-Sini” CyberMQ. Sejak era manajemenqolbu.com hingga CyberMQ, ribuan pesan dari para aksesor, dengan berbagai kepentingan pernah singgah di media ini. Dari yang sekedar Say Hello untuk berkenalan, atau saling memberikan nasehat, hingga ungkapan-ungkapan curahan hati. Padahal boleh jadi sebagian diantara mereka belum pernah bertatap muka secara langsung, semua proses komunikasi hanya berlangsung di dunia maya.

Yang menarik, diantara aksesor tersebut ada yang kemudian menemukan pasangan hidupnya lewat interaksi virtual ini. Sejak 2002, penulis tercatat dua kali membaca pesan dari aksesor yang menuliskan ucapan terima kasih karena telah bertemu jodohnya lewat layanan media ini. Bahkan tak sedikit aksesor yang akhirnya menerima hidayah setelah membaca tulisan-tulisan yang dimuat dan kerap berinteraksi bersama komunitas CyberMQ. Subhanallah.

Internet memang unik. Kendati termasuk hal yang relatif baru, namun secara revolusioner Internet telah mengubah metode komunikasi massa dan penyebaran data atau konten. Memang, pertumbuhan internet di tanah air belum sedahsyat telepon selular, namun lalu lintas internet nasional setiap tahun menunjukan peningkatan. Dari data yang dihimpun dari National InterConnection Exchange (NICE) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), harian Bisnis Indonesia belum lama ini melaporkan, di tahun 2006 ini lalu lintas internet diprediksi akan menyentuh angka 2,1 gigabytes per second (Gbps), atau naik sekitar 40 % dari prediksi tahun ini sebesar 1,5 Gbps.

Internet memang fenomenal. Teknologi yang mulai dikenal di tanah air di era 90-an ini telah terbukti sebagai satu-satunya medium global yang paling fleksibel. Internet dengan mudah mampu mengintegrasikan berbagai bentuk media massa konvensional, baik media cetak, audio visual bahkan kebiasaan lisan sekalipun.

Namun demikian seperti kita pahami, setiap hal baru yang masuk ke masyarakat pasti membawa dampak atau perubahan sosial. Tak terkecuali dengan internet. Keberadaannya di tanah air telah memberikan banyak implikasi di berbagai sektor kehidupan.

Kebiasaan manusia yang gemar ber-relationship, misalnya. Adanya internet sedikit demi sedikit telah menggeser kebiasaan komunikasi secara face to face. Kehadiran fasilitas chatting, e-mail, milis, maupun layanan komunitas sejenis, diakui membawa manfaat dari sisi efektivitas waktu dan efisiensi biaya. Untuk berkomunikasi secara personal maupun massal, seorang pengguna internet tak perlu repot, cukup melakukannya di depan komputer atau menggunakan gadget. Bahkan dengan adanya Internet telah memungkinkan seseorang untuk melakukan pekerjaannya di rumah, tanpa harus berada di kantor.

Internet juga berdampak terhadap sektor ekonomi dan bisnis. Kehadiran e-commerce yang terus berkembang lambat laun akan merubah kebiasaan bertransaksi sebagian masyarakat kita. Para produsen maupun konsumen akan terbiasa menjual maupun membeli produk dan jasa secara online ketimbang melangkahkan kaki ke outlet penjualan. Ruang dan waktu bukan lagi menjadi kendala. Sebuah perusahaan di Indonesia memiliki kesempatan yang sama dengan kalangan bisnis asing untuk menjalin kerjasama atau ingin mengakses pasar mancanegara.

Di bidang pendidikan, introduksi internet juga membawa perubahan. Sebelum adanya internet, masyarakat Indonesia terutama kalangan akademisi sungguh tidak mudah untuk mencari sumber informasi. Kendati berbagai buku maupun jurnal banyak terdapat di perpustakaan konvensional, namun belum tentu sesuai kebutuhan. Kehadiran internet telah mempermudah seseorang untuk mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan, dimanapun itu (nasional dan mancanegara). Proses distance learning atau kelas jauh yang beberapa waktu lalu mungkin dianggap mustahil, kini sangat memungkinkan dilakukan.

Berbagai implikasi di atas hanyalah contoh. Masih banyak lagi perubahan sosial maupun budaya yang terjadi di sektor lain sebagai dampak teknologi internet. Seperti layanan satu atap dalam E-Government, ataupun trend Blog saat ini yang telah serta merta merubah kebiasaan seseorang dalam menulis agenda harian. Bila sebelumnya cenderung bersifat privat, hanya bisa diketahui pribadi, namun kini justru sebagian masyarakat menjadi tidak sungkan untuk mempublish diary-nya ke publik.

Seperti dua sisi mata uang, setiap hal baru tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitupun dengan internet. Kehadiran internet diakui telah membawa banyak manfaat, namun berbagai ketakutan atas dampak negatif teknologi ini tetap tak bisa kita pungkiri. Internet pun ternyata mengancam kebiasaan bersosialisasi maupun silaturahmi yang menjadi kultur bangsa kita. Kendati para user terlibat silaturahmi secara maya, namun tetap saja kesan hidup individualistis sulit dihindari, karena generasi internet akan lebih banyak menghabiskan waktunya menjelajahi dunia maya.

Belum lagi ancaman kejahatan internet atau kerap disebut CyberCrime yang terus membayangi. Perilaku carding, ulah cracker, manipulasi data dan berbagai kejahatan lain bukan tidak mungkin akan semakin meningkat, apalagi bila tidak ditunjang dengan penegakan hukum.

Namun kita tidak bisa mundur atau mencegah kehadiran internet. Teknologi ini tentunya akan semakin berkembang dan lambat laun akan menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari dan mutlak dimiliki. Kuncinya kini tentu berada di masyarakat pengguna internet sendiri. Apakah ingin meraup manfaat sebanyak-banyaknya dari teknologi ini, atau justru memilih terjebak dalam hal-hal yang negatif ? Semuanya tergantung pilihan anda sebagai aksesor. Wallahu 'alam (indra kh)***



Image hosting by Photobucket

Hari Raya Idul Adha telah tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para pedagang hewan kurban kembali muncul di berbagai sudut jalan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam melaksanakan ibadah kurban. Bagi para pedagang domba, kambing atau sapi, kedatangan hari raya Idul Adha sungguh merupakan momen untuk mengeruk keuntungan.

Seperti Tarman (37), misalnya, pedagang domba kurban yang mangkal di jalan Pak Gatot Raya, Bandung. Sejak hari Rabu (4/7) lalu, ia mengaku telah berhasil menjual dua belas ekor domba. Tarman optimis dagangannya itu akan laris pada malam Idul Adha. “Paling apes, hari Rabu semuanya habis,” ungkap dia kepada CyberMQ.

Domba-domba tersebut dijual Tarman dengan harga bervariasi. Untuk domba seberat sekitar 30 Kg ia jual seharga Rp. 850 ribu. Harga itu termasuk yang termurah di tahun ini. Kendati demikian, untuk teman atau saudara, ia bersedia menyediakan hewan kurban murah yang seharga Rp. 500 ribu. “Pokoknya ke temen mah, siap bantu, 500 (Rp. 500 ribu – red) juga saya kasih,” kata dia.

Untuk kebutuhan pengadaan domba-dombanya, ia menerima kiriman dari berbagai lokasi. Tak hanya Garut, yang terkenal sebagai sumber hewan kurban, Tarman juga mengaku disuplai oleh peternak dari Padalarang, dan bahkan ada juga hasil ternak pribadinya yang ikut ia jual.

Selama berjualan hewan kurban, pria berkulit kehitaman ini mengaku belum pernah mengalami kerugian. “Sudah delapan tahun saya dagang domba, Alhamdulillah belum pernah rugi,” katanya. “Kalau ada sisa, paling dua, itu mah wajar,” lanjut Tarman.

Tarman menjamin, hewan kurban yang dia jual semuanya aman, karena telah menjalani tes kesehatan oleh Dinas Kesehatan, Kota Bandung. Ia juga sedikit lega, karena untuk tes kesehatan ini, ia mengaku tak mengeluarkan uang, alias gratis. Begitupun dengan rumput untuk hewan kurban, Tarman mengaku tidak mengalami kesulitan, karena telah disediakan oleh pemilik lapak. “Yang datang dari Garut (pedagang hewan dari Garut – red) mah, susah. Harus bayar lapak, nyari rumput, padahal kalau tidak nyuruh orang yang biasa mah, susah nyari rumput teh, mahal lagi,” katanya.

Namun, khusus untuk sewa lahan, Tarman sebenarnya masih mengeluhkan besarnya biaya sewa yang harus ia keluarkan selama berjualan hewan kurban ini, kendati untuk bayaran lapak ini dapat diganti dengan hewan miliknya. “Mintanya sih dua domba,” keluhnya sambil memandangi domba-dombanya yang diikat di batang bambu. “Mudah-mudahan masih bisa nego,” tuturnya berharap. Karena jika uang sewa tersebut bisa dikurangi, tentunya Tarman akan bisa meraup untung lebih besar. Jika dikonversikan, dua domba seharga Rp. 850 ribu sama dengan uang Rp. 1 juta 700 ribu.

Padahal, masalah lahan ini pun belum menjadi jaminan dagangan hewan kurban seseorang akan laku. Tak semua pedagang yang menempati lahan yang sama akan meraup jumlah untung yang sama. Seperti Dasep (27), yang juga mangkal di kawasan yang sama. Ia tak seberuntung Tarman yang telah berhasil menjual dua belas ekor domba. Hingga hari Jumat (6/1), belum satupun hewan kurban milik Dasep yang terjual. “Tahun ayeuna sepi, teu jiga tahun-tahun kamari (Tahun sekarang sepi, tak seperti tahun-tahun sebelumnya),” keluh Dasep. Padahal harga hewan kurban milik Dasep, tak berbeda jauh dengan hewan kurban Tarman.

Rejeki memang bukan manusia yang mengatur. Semuanya kembali kepada Allah SWT. Tempat berjualan boleh sama, namun rejeki seseorang tetap berbeda. Wallahu'alam (Indra KH)***



Image hosting by Photobucket

Masih teringat di benak kita, bagaimana dahsyatnya gelombang tsunami menggulung Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias setahun lalu. Tepatnya pada hari Ahad, 26 Desember 2004, sekitar pukul 09.00 WIB, menyusul gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR) pukul 07.58 WIB. Bencana itu benar-benar meratakan sebagian besar bumi serambi Mekah dan melenyapkan ratusan ribu korban jiwa. Gelombang pasang itu bahkan meluas hingga ke 12 negara : India, Indonesia, Sri Lanka, Thailand, Malaysia, Maladewa, Somalia, Tanzania, Seychelles, Myanmar, Bangladesh, dan Kenya.

Gempa dan tsunami bulan Desember tahun lalu tidak saja menelan korban jiwa di wilayah-wilayah yang terkena dampak, namun juga menyebabkan kerusakan yang parah dibidang sosial, ekonomi dan lingkungan maupun tempat tinggal, terutama di daerah pesisir. Sekitar 64 ribu hektar lahan produktif rusak dan terkontaminasi. Ukuran ini konon setara dengan 6 kali luas kota Paris, 2 kali luas kota London, atau sama dengan 160 ribu kali luas lapangan sepakbola.

Kondisi ekonomi yang sungguh memprihatinkan dialami oleh para korban yang selamat. Sebuah lembaga bantuan Internasional, Oxfam menyebutkan, sedikitnya satu juta pekerjaan lenyap akibat tsunami. Angka pengangguran di NAD meroket, dari 1 berbanding 14 (7%) menjadi 1 berbanding 3 (33 %). Selain kehilangan pekerjaan, para penduduk korban bencana harus rela kehilangan aset dan simpanan mereka, seperti sejumlah uang kas, perhiasan dan properti yang hilang disapu gelombang tsunami.

Para nelayan, petani kecil, buruh, pengusaha industri kecil dan para pengusaha dan pekerja di sektor pariwisata adalah kelompok masyarakat yang menerima dampak terburuk akibat bencana ini. Sebagai contoh, sekitar 70 % dermaga di Aceh dilaporkan mengalami kerusakan parah. Kondisi ini sudah barang tentu merontokkan mata pencaharian para nelayan. Padahal, sebelum bencana pun, penduduk di wilayah pesisir, yang dihuni para nelayan, hampir separuhnya hidup di bawah garis kemiskinan.

Kini, setahun sesudah gempa dan gelombang tsunami terjadi, kondisi di lokasi bencana, terutama Aceh telah berangsur-angsur pulih. Kendati masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, seperti sekitar 67.000 jiwa korban gempa dan tsunami di sejumlah kabupaten/kota di Aceh Darussalam dilaporkan masih berada di bawah tenda-tenda darurat, namun menurut data yang diperoleh dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD dan Nias, di Banda Aceh, Jumat (16/12), menyebutkan setelah beberapa bulan musibah itu berlalu dan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dimulai, kini diperkirakan lebih dari 300 ribu orang sudah kembali ke rumah mereka.

Mata pencaharian, yang menjadi prioritas kebutuhan penduduk Nanggroe pun berangsur-angsur pulih. Laporan dari Oxfam menyebutkan, lebih dari setengah penduduk yang terkena dampak tsunami kini telah kembali bekerja. Diperkirakan sekitar 60 % penduduk yang kehilangan mata pencaharian telah bisa “hidup” kembali. Sekitar 70 % perahu nelayan Aceh kini bisa dipergunakan kembali untuk melaut, dan ribuan hektar lahan telah menjalami proses desalinasi (pemurnian dari air laut) sehingga telah siap ditanami kembali.

Memang, kendati kita tidak menutup mata dengan adanya laporan mengenai beberapa NGO's yang tidak berperan sebagaimana mestinya dan mencari kesempatan untuk tujuan yang berbeda, namun berbagai bantuan yang datang ke Aceh pasca tsunami harus diakui turut berperan membantu pemulihan daerah kaya sumber daya alam ini.

Zakaria contohnya. Pemuda asal Aceh yang pernah mengikuti program Pemuda Pelopor Aceh (PPA) di Pesantren Daarut Tauhiid ini mengaku bantuan berupa pelatihan yang mereka terima sangat bermanfaat. Dengan bermodal pelatihan di Bandung, menurut Zakaria, kini dari 94 pemuda yang mengikuti program tersebut ada yang telah berhasil membuka usaha sendiri. Demikian seperti diungkapkannya dalam acara MQ pagi yang dipandu KH Abdullah Gymnastiar, Kamis (22/12).

Hal serupa dirasakan juga oleh para pengemudi becak motor yang tergabung dalam Pertisa, Persatuan Roda Tiga Seluruh Aceh. Sekitar 60 orang pengemudi kini bisa menarik nafas lega untuk kembali mencari nafkah, setelah menerima bantuan pinjaman lunak untuk kredit becak motor dari sebuah NGO's.

Seperti diungkapkan Tarmizi (23), salah seorang anggota Pertisa, mereka kini cukup terbantu dengan kewajiban setoran Rp. 21.000, - / hari untuk mencicil kendaraan roda tiga yang kelak menjadi hak milik mereka. Harga becak motor itu sendiri dipatok pada nilai 15 juta rupiah/ unit.

“Para pengemudi siap membuka lembaran baru setelah bencana tsunami, bantuan yang kami terima sangat membantu”, kata Tarmizi. Setiap pengemudi memahami, bantuan ini akan membuka peluang untuk kembali hidup normal,” lanjutnya.

Meskipun begitu, Tarmizi, salah seorang korban tsunami yang telah kehilangan ibu, saudara perempuan dan saudara laki-laki akibat gelombang tsunami ini tetap berharap, para pengemudi becak lainnya bisa mendapatkan bantuan seperti dirinya untuk memiliki kendaraan sendiri, sebagai jalan untuk mencari nafkah.

Kita akui, jalan untuk membangun kembali bumi serambi Mekah memang masih panjang, namun setidaknya kita bisa ikut merasa bahagia melihat sebagian saudara kita di sana kini mulai bisa tersenyum menyambut lembaran baru setalah pekerjaan mereka kembali. Semoga saja kelak penduduk Nangroe dapat kembali merajut mimpi mereka, Amin. (indra-kh)***



Ibu Evi, sebut saja begitu, malam itu tampak pasrah menerima kenyataan dirinya kini seorang penderita HIV. Tak ditemukan gurat senyuman di wajahnya. Dalam tayangan “Suara Anda” di MetroTV yang membahas tentang AIDS, Kamis (1/12) malam, wanita muda ini mengaku kalau dirinya tertular HIV dari suaminya. Sebelumnya Ibu Evi tidak mengetahui suaminya pengidap positif HIV. Ia baru mengetahui baru tahu suaminya positif HIV setelah sang suami bercerita, bahwa jauh sebelum menikah dengannya, ia adalah pemakai atau pecandu narkoba. Dan kini, yang semakin menyedihkan, anaknya pun terindikasi tertular penyakit yang sama.

Hal itu semakin diperparah dengan kondisi ekonomi keluarganya. Kendati obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan perkembangan HIV di tubuh kabarnya diberikan secara gratis dari pemerintah, namun tetap saja menurut Ibu Evi, dirinya harus membeli. Belum lagi biaya untuk pemeriksaan rutin dan obat-obatan lainnya.

Ibu Evi tidak sendirian. Banyak ibu-ibu rumah tangga lainnya di Indonesia yang mengalami nasib serupa, bahkan mungkin terjebak dalam kondisi yang lebih parah. Jumlah kasus penderita HIV/AIDS yang berasal dari keluarga baik-baik kini semakin banyak ditemukan. Mereka tertular penyakit tersebut bukan karena hubungan seks sejenis, atau akrab dengan narkoba jenis jarum suntik. Mereka ada yang tertular HIV karena transfusi darah, atau melakukan hubungan seks dengan pasangan sah yang ternyata positif HIV.

Pada beberapa daerah, HIV/AIDS memang telah masuk ke masyarakat umum. Orang-orang yang tak ada hubungannya langsung dengan perilaku beresiko tinggi juga telah masuk dalam cakupan rentan HIV/AIDS, misalnya istri ataupun anak-anak. Saat ini tidak tertutup kemungkinan istri "baik-baik" dapat terjangkit HIV/AIDS jika suaminya termasuk orang yang melalukan perbuatan berisiko tinggi. Kemudian anak atau bayi juga dapat lahir dengan HIV/AIDS jika ibunya seorang penderita.

Masalah HIV/AIDS ini memang menjadi masalah yang penting bagi kita semua, mengingat AIDS sudah tersebar di seluruh Indonesia. Apabila dibiarkan, siapa yang dapat menjamin beberapa tahun mendatang, keluarga, atau kita sendiri terbebas dari HIV/AIDS.

Dilihat dari jumlah pengidap dan peningkatan jumlahnya saat ini, HIV sudah dapat dianggap sebagai ancaman hidup bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan sampai Juni 2005, jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia adalah 7 ribu 98 orang. Jumlah tersebut adalah yang tercatat, sedangkan yang tidak dilaporkan diyakini berkali-kali lipat lebih banyak.

Hal inilah yang ditakutkan. Diperkirakan jumlah pengidap HIV/AIDS yang sekian banyaknya itu merupakan fenomena gunung es dimana jumlah penderita yang tidak terlaporkan justru jauh lebih banyak.

Indonesia bahkan dewasa ini berada pada fase awal epidemi penyakit AIDS dengan epidemi HIV yang cukup serius. Penyakit ini menyebar cepat di kalangan pengguna narkoba, suntikan, pekerja seks dan pelanggannya serta melalui kontak heteroseksual seperti halnya di Papua. Hal itu dikemukakan Direktur Eksekutif UNAIDS Dr Peter Piot kepada wartawan bersama Menko Kesra Alwi Shihab yang juga Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) di Jakarta, Senin (26/11).

Oleh karena itu, katanya, diperlukan usaha untuk memperluas dan meningkatkan skala program pencegahan HIV di Indonesia agar dapat menjangkau mereka yang rentan terhadap infeksi HIV secara efektif. (red/mikha)***


Ancaman Ekstasi Membuat Ngeri

0 comments

Image hosting by Photobucket

Ditemui Indra KH di sebuah lokasi tempat cuci motor di kawasan Bandung Utara, Kamis (17/11) siang, Wy (25) – sebut saja begitu – bersama tiga orang pegawainya tampak sibuk melayani pelanggannya. Bila melihat kegesitan Wy, orang mungkin tak menyangka kalau pemuda ini sempat menjadi pecandu narkoba, khususnya jenis shabu-shabu dan ekstasi.

Namun jika menyimak cara Wy berbicara, orang mungkin baru 'ngeh,' bila dia dulunya seorang pemakai narkotika, psikotropika, atau bahan adiktif lainnya. Cara Wy bertutur memang agak terbata-bata dan cedal. “Sebelumnya ngomong gua nggak seperti ini, lancar aja,” ujar Wy. Belum lagi gigi bagian depan pemuda ini, yang terlihat jarang akibat banyak yang keropos.

Perceraian orang tuanya sekitar 5 tahun silam menjadi penyebab Wy terjerumus ke jurang narkoba. Dirinya yang saat itu berusia 20 tahun kehilangan tempat untuk mengadu maupun berkeluh kesah. Kendati dari sisi materi, dirinya tak pernah merasa kekurangan, namun tetap saja perhatian ayah dan ibunya merupakan sesuatu yang sangat ia butuhkan.

Di saat kehilangan pegangan itu, lingkungan kuliahnya justru menyeret Wy untuk mencoba ektasi sebagai tempat pelarian. “Temen kuliah gua dulu borju-borju (kaya – red), doyan ngedugem, ke diskotik hampir setiap malam, dari situlah gua kenal inex dan shabu,” kata Wy.

Pun bila keinginan untuk memakai narkoba datang, sementara persediaan uang di kantong telah menipis, Wy mengaku kerap melego berbagai barang elektronik di rumahnya. ”Kalau inget lagi, kasian banget nyokap gua, barang-barangnya abis gua curi buat modal ngedrugs,” ujarnya menyesal.

Beruntung Wy berhasil keluar dari jeratan narkoba kurang lebih setahun yang lalu. Atas inisiatif pamannya, ia dibawa sebuah ke lokasi rehabilitasi korban narkoba di Jakarta. Kini setelah sembuh, Wy pun mencoba profesi barunya sebagai pemilik tempat cuci motor. Itu pun berkat bantuan modal dari Pamannya.

Tak banyak korban narkoba yang berhasil lolos dari cengkraman narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Bahkan jumlah pecandu narkoba cenderung terus meningkat. Dari catatan Badan Narkotika Nasional (BN) hingga bulan Maret 2005, menunjukkan jumlah pencandu narkoba di Indonesia berkisar 1,5 persen dari jumlah penduduk (sekitar 2,9 juta – 3,2 juta orang)..

Hampir semua orang mengetahui, narkoba sangat membahayakan tubuh, bahkan bisa berujung pada kematian. Namun para pecandu kerap mengesampingkan hal tersebut. Karena bagi mereka yang penting “happy.” Ekstasi, misalnya. Menurut Kepala Satuan II Psikotropika Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Drs Guntur Setyanto, M.Si, ekstasi yang diproduksi secara tradisional bisa dibuat dari campuran bahan-bahan yang sangat membahayakan kesehatan tubuh seperti obat nyamuk dan semen putih.

"Ekstasi itu ada yang dibuat dari bahan asal-asalan. Ekstasi sendiri berbahaya bagi tubuh tapi lebih berbahaya lagi kalau bahan bakunya sembarangan," kata Guntur Setyanto, M.Si di Jakarta, Selasa (27/7) lalu. "Kita temukan, ekstasi terbuat campuran dari obat tidur, baygon (obat nyamuk - red), semen putih, bahkan formalin. Coba bayangkan saja, ada semen yang biasa dipakai untuk merekatkan batu dipakai untuk membuat ekstasi," katanya.

Narkoba jenis kokain dan ekstasi pun ternyata bukan hanya menyebabkan ketagihan dan meningkatkan resiko terkena kanker, namun ternyata juga memicu mutasi genetis. Hal tersebut diungkapkan Giorgio Bronzetti, pimpinan peneliti di Departemen Bioteknologi Pusat Riset Nasional (CNR) Italia, seperti dikutip Kompas (9/12/03).

"Zat yang tergolong narkotik itu, di samping meracuni tubuh, juga menyerang DNA sehingga memicu terjadinya mutasi dan mengubah materi-materi yang diturunkan. Hal ini sangat mengkuatirkan karena efeknya bakal ditemui pada keturunan seorang pemakai kokain dan ekstasi," lanjutnya.

Dalam laporan CNR yang digarap selama tiga tahun, disebutkan pengujian terhadap hewan menunjukkan hubungan langsung antara ekstasi dan kokain dengan mutasi DNA. "Dengan kata lain, makin sering orang mengkonsumsi zat-zat itu, makin besar pula kerusakan DNA yang terjadi," kata Bronzetti.

Sebagai negara berpenduduk padat, Indonesia tentu merupakan lahan empuk bagi para bandar narkoba. Ini terbukti dengan penemuan beberapa pabrik ekstasi berskala besar yang berhasil dilakukan Polri di tahun ini. Terbongkarnya pabrik ekstasi yang disebut-sebut ketiga terbesar di dunia dengan omzet Rp 100 miliar seminggu, Sabtu (12/11) lalu membuat kita kaget. Betapa tidak, hanya dalam tempo satu minggu, narkoba jenis ekstasi ini bisa merusak hingga satu juta orang. Bisa dibayangkan berapa jumlah korban dalam satu bulan atau satu tahun ? Dan bila melihat berbagai dampak seperti diungkap dalam tulisan diatas, ancaman ekstasi tentunya pantas membuat kita ngeri. (red/mikha)***


Malapetaka Peperangan

0 comments

Image hosting by Photobucket

.....Sungguh suatu malapetaka bahwa harus ada perang ! Pedusunan indah menjadi mangsa dan dihancurkan. Dan sawah-ladang semuanya terbengkalai. Yang paling jahat ialah, sudah begitu banyak manusia kehilangan nyawa. Sekarang mereka terbaring di negeri lawan. Alangkah dahsyatnya malapetaka ini !......

Tulisan di atas adalah kutipan dari sebuah surat tentara Jerman yang dimuat dalam buku Last Letter from Stalingrad (Surat-surat penghabisan dari Stalingrad), yang dialihbahasakan oleh penyair Landung Simatupang, pada 2003 lalu.

Saat itu, tujuh buah tas yang berisi surat-surat para tentara Jerman yang diangkut pesawat terbang terakhir yang meninggalkan Stalingrad ditahan oleh komando Tinggi Jerman. Alamat tujuan dan nama pengirim dihilangkan, dan surat-surat itu dianalisis untuk mempelajari moril pasukan di medan laga.

Mungkin kita tak akan heran, jika tulisan curahan hati di atas bersumber dari warga sipil yang menjadi korban perang. Namun yang menarik, tulisan itu berasal dari seorang serdadu yang tengah terlibat hujan peluru di medan pertempuran.

Surat-surat itu seolah ingin memberikan kesaksian yang tak pernah basi tentang kejinya perang serta keberanian dan ketabahan manusia. Alasan paling rasional mengapa perang itu sendiri harus ditolak justru ditemukan oleh para prajurit itu sendiri di medan perang.

Betapa kita akhirnya harus membaca tuturan paling jujur dari para prajurit, bahwa perang adalah kesia-siaan yang abadi. Harapan kehidupan yang semakin menipis, frustasi, keterpisahan, dan derita yang begitu menyakitkan adalah realitas paling rasional yang akhirnya mereka mempertanyakan mengapa mereka harus ada di tempat dan di waktu peperangan itu. "Adu senjata" sebenarnya tak hanya dikhawatirkan oleh warga sipil, namun juga tak diinginkan oleh para serdadu.

***

Perang ada di dunia sejak lama. Mungkin sama dengan umur manusia itu sendiri. Padahal bila ditelisik sebenarnya tak ada pemenang dalam perang, baik pihak agressor maupun daerah pendudukan.

Jumlah korban jiwa dalam sebuah pertempuran tak pernah sedikit. Ribuan bahkan jutaan orang meregang nyawa dalam peperangan. Beberapa diantaranya akan dipaparkan berikut ini. Dalam perang dunia ke I, sedikitnya 5.497.600 tentara sekutu, 3.382.500 serdadu kekuatan pusat, dan 6.493.000 penduduk sipil tewas.

Dalam perang dunia ke II, yang mulai berkecamuk pada tanggal 1 September 1939 sampai tanggal 14 Agustus 1945, merupakan perang paling dahsyat pernah terjadi di muka bumi. Kurang lebih 50.000.000 orang tewas dalam konflik ini.

Pertempuran Stalingrad, yang terjadi antara bulan Agustus 1942 sampai tanggal 2 Februari 1943, merupakan titik balik Perang Dunia II. Dalam pertempuran ini pasukan Divisi VI Jerman bertempur melawan pasukan Uni Soviet. Di Stalingrad, pertempuran berkecamuk sangat sengit dan kedua kubu harus berperang demi merebut rumah dan jalan satu per satu.

Diperkirakan sekitar 40.000 tentara dari kedua belah pihak terbunuh dalam satu hari. Hingga kini pertempuran ini dianggap sebagai salah satu pertempuran besar dan paling berdarah dalam sejarah manusia. Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai 3 juta jiwa.

***

Perang juga tak hanya menimbulkan korban jiwa. Namun juga kerugian psikologis dan kelaparan - terutama anak-anak - sebagai dampak peperangan yang terjadi. Padahal dunia anak-anak adalah dunia kegembiraan, kepolosan, dan kebahagiaan serta dipenuhi dengan harapan dan impian yang manis. Namun, karena tak mengenal cara untuk survival, anak-anak menjadi sasaran pertama dari kekejaman, perang, dan ketidakadilan.

Di sepanjang perang yang terjadi selama 10 tahun terakhir di dunia, dua juta anak-anak kehilangan nyawa mereka dan 6 juta lainnya cedera.

Kita melihat anak-anak Palestina lebih banyak merasakan mesiu ketimbang susu ibu mereka. Betapa banyak anak-anak yang harus bergabung dalam antrian yayasan-yayasan sosial untuk meminta makanan dan sedekah demi memenuhi perut lapar mereka.

Anak-anak Irak kini banyak yang terserang kanker darah akibat senjata kimia yang digunakan dalam perang. Sebagian dari mereka menjadi cacat akibat terkena ranjau darat sisa-sisa perang.

Anak-anak Libanon banyak yang kehilangan ayah yang gugur dalam perang. Anak-anak Afghanistan kehilangan tempat tinggal yang hancur akibat serangan pasukan asing.

***

Sungguh, peperangan sebenarnya bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan sebuah konflik. Peperangan lebih sering timbul akibat egoisme dan kesombongan para pemimpin sebuah bangsa. Kendati dalam beberapa kasus salah satu pihak merasa menang, namun tetap saja banyak kerugian.

Segala cara harus terus diupayakan untuk menghentikan perang, mengingat perang selalu menjadi malapetaka yang membuka peluang terbunuhnya orang-orang yang tidak berdosa. (red/mikha)***


Quo Vadis, Televisi Kita ?

0 comments

Image hosting by Photobucket

Henri (31) mengaku heran mendengar anaknya yang masih balita mengucapkan kata-kata tertentu yang tak ia mengerti. Bahkan ungkapan-ungkapan yang biasa ngetrend di kalangan ABG, semacam "So What Gitu Loh.....?" Meluncur begitu saja dari mulut Putri (3). Namun, setelah Henri menyelidiki lebih dalam, ternyata ungkapan-ungkapan yang kerap dikatakan Putri ini berasal dari tayangan televisi. "Ternyata televisi ini paling mudah mempengaruhi audiencenya, termasuk anak-anak, karena sifatnya yang audio visual" kata Henri.

Cerita Suparno (44) lain lagi. Guru pada salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota Bandung ini mengaku prihatin dengan perubahan sikap beberapa siswanya beberapa tahun belakangan ini. Kepada CyberMQ, Senin (22/8) Suparno mengeluhkan meningkatnya jumlah siswa yang bersikap "kurang sopan" terhadap guru. Padahal tambah dia, di jamannya dulu siswa sekolah itu sangat menghormati para guru.

"Saya juga heran, kenapa di saat jaman semakin maju, nilai-nilai moral dan kesopanan para siswa justru semakin memprihatinkan," katanya.

Guru yang telah mengajar selama dua dekade ini mensinyalir maraknya tayangan televisi yang kurang mendidik menjadi salah satu penyebab menurunnya tata krama siswa terhadap guru. "Sinetron-sinetron remaja kita kebanyakan kurang memiliki nilai edukatif," ujar Suparno. Nilai-nilai manfaatnya sangat minim, tambah dia. "Ada yang menceritakan para siswa melawan guru, pergaulan siswa yang terlampau bebas, bahkan sosok guru ada yang digambarkan sebagai sosok yang bloon," keluh Suparno.

Penilaian senada diungkapkan penyanyi Hedi Yunus. Salah seorang pentolan kelompok musik Kahitna ini menilai, sinetron-sinetron yang menceritakan kondisi sekolah-sekolah atau pelajar jaman sekarang tidak mendidik. "Kebanyakan adegan marah-marah, melawan guru, bahkan berantem. Memprihatinkan sekali. Tayangan seperti itu harusnya dihentikan. Walaupun menurut para pembuat sinetron, tontonan itu ratingnya tinggi, banyak ditonton. Namun hal itu menurut saya sangat tidak mendidik buat anak sekolah," ungkap Hedi kepada CyberMQ bulan Desember lalu.

***

Dewasa ini tak bisa dipungkiri, televisi merupakan salah satu media yang paling berpengaruh di masyarakat. Hampir sebagian besar penduduk dunia sulit dipisahkan dengan "kotak ajaib" ini. Seperti juga di Indonesia. Televisi menjadi menu sehari-hari untuk berbagai kalangan dan usia.

Seperti dua sisi mata uang, dalam berbagai hal kita akan berhadapan dengan dua sisi yang bertolak belakang, baik dan buruk. Tak terkecuali televisi. Selain memiliki manfaat yang banyak, tayangan lacar kaca diakui memiliki dampak buruk yang dapat membahayakan, terutama bagi anak-anak.

Di antara berbagai media massa, televisi memang memainkan peran yang terbesar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu dini bagi bagi anak-anak. Hal ini disebabkan para orang tua sangat sedikit yang mau mengarahkan tontonan anak mereka. Bahkan bagi orang tua yang keduanya bekerja, boleh jadi anak mereka lebih banyak "ditemani" televisi dibanding orang tua. Karakter televisi yang tak memisahkan audiencenya, termasuk anak-anak ini beresiko tinggi terhadap perkembangan psikologis anak-anak.

Neil Postman, dalam bukunya "The Disappearance of Childhood," pernah menyebutkan tiga karakteristik televisi. Pertama, pesan media ini dapat sampai kepada pemirsanya tanpa memerlukan bimbingan atau petunjuk. Kedua, pesan itu sampai tanpa memerlukan pemikiran. Ketiga, televisi tidak memberikan pemisahan bagi para pemirsanya, artinya siapa saja dapat menyaksikan siaran televisi.

Ketiga karakteristik televisi ini akan berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, akan menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang tak berkualitas, seperti seks, kekerasan dan mistik.

***

Menyikapi dampak negatif tayangan televisi terhadap anak-anak, Hendrayana, S.Sos - seorang pengamat media - meminta para orang tua untuk tak berdiam diri. Peran orang tua sangat diharapkan untuk membimbing anak mereka dalam mengkonsumsi televisi, sehingga anak-anak hanya menyaksikan tontonan yang memang layak mereka saksikan. Hendrayana pun menyarankan para orang tua untuk benar-benar memperhatikan logo "Parental Guide" - seperti bimbingan orang tua, dewasa, remaja, semua umur - pada televisi sebagai panduan untuk dipatuhi.

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) ini berharap, pihak televisi lebih memperhatikan kembali waktu tayang suatu acara. "Saya khawatir dengan jadwal tayang acara televisi. Ambil contoh acara kriminal, yang ditayangkan saat anak masih melek di depan televisi," katanya. Hendrayana menambahkan, sebaiknya acara bermuatan edukasi digeser ke prime time, sementara acara mistik, dan kekerasan dipindah ke tengah malam. Siapa tahu masyarakat menjadi makin dewasa, dan makin cerdas untuk memilih tayangan.

Kendati begitu, Hendra membenarkan kalau pihak televisi mengalami kesulitan dalam mengatur program acara dan waktu tayang karena terkait industri, di mana usaha televisi harus tetap jalan dan menjangkau sebanyak-banyak audience.

Sandi Ekayuda, program manager di sebuah Production House (PH) yang biasa mensuplai acara ke berbagai televisi tanah air mengungkapkan hal senada. Ia mengaku prihatin dengan jam tayang televisi. Sandi memberi contoh promo acara untuk dewasa, yang kerap ditayangkan di waktu prime time. "Program acara untuk 17+ memang ditayangkan tengah malam, namun kadang promonya di saat anak-anak masih menonton televisi. Memang, promo itu hanya berkisar 30 detik - 1 menit, namun pasti membekas di pikiran anak-anak," kata Sandi. "Saya khawatir anak-anak menjadi lebih dewasa sebelum waktunya," tambah dia.

Menurutnya tayangan televisi di tanah air kini masih berkutat pada VHS - Violence, Horror dan Seks. Untuk itu, Sandi berharap, Komisi Penyiaran Indonesia bisa lebih memiliki power untuk menekan stasiun TV untuk lebih proporsional dalam jam tayang.

Alumnus jurusan broadcasting Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Ilmu Komunikasi Unpad ini memandang sudah saatnya televisi khusus anak hadir di Indonesia. Ia pun tak sependapat jika ada anggapan stasiun televisi khusus anak tak layak jual. "Audience anak-anak kan sangat banyak, produk anak juga sangat banyak, jadi kalau terkait industri televisi, saya pikir televisi dengan segmen anak tetap bisa layak jual," tuturnya.

***

Aep Syaefullah, S.Ag, M.Ag, staff program di sebuah PH mengaku gembira sekaligus prihatin melihat trend tayangan televisi saat ini, terutama dengan maraknya program relijius atau spiritual. Aep menilai visualisasi sisi relijius dalam tayangan televisi kurang edukatif.

Aep mengatakan : "Tayangan Ilahi-ilahi-an yang marak sekarang ini agak kurang mengandung tadbir, ibroh dan hikmah bagi kehidupan manusia. Sisi relijius yang diangkatnya penuh dengan mistis, supralogis, tidak empiris, dan tak rasional. Padahal kalau kita berbicara terkait Habluminannas (hubungan antar manusia - red) itu pasti rasional. Kecuali kalau kita berbicara di luar manusia, itu boleh tak rasional. Namun jangan divisualisasikan, seperti visualisasi jin, syetan, itu nggak perlu menurut saya."

Lulusan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menilai fenomena tayangan di televisi itu sudah set back ke masa lalu. "Kalau dulu ada sundel bolong, beranak dalam kubur, sekarang pun masih seperti itu, namun dengan versi yang tak jauh berbeda," kata dia. Ia mengaku tak mengetahui jelas penyebab hal itu. Apakah karena kreatornya, sineasnya, televisinya atau justru mental masyakarat yang masih suka.

"Quo Vadis televisi kita ? Ditengah menggeliatnya media, masa sih audience digempur oleh konten yang kurang berkualitas. Berarti tak berorientasi jangka panjang," tambah Aep.

Menurutnya pembenahan tayangan televisi harus dimulai dari semua sisi. Pihak televisi, para sineas, dan elemen terkait harus membicarakan arah media, mau dibawa kemana televisi ini ?

Sebagai stake holder televisi, sudah seharusnya masyarakat diperhatikan, kata dia. "Kepentingan public interest adalah sesuatu yang harus menjadi prioritas. Kalau mistik dan takhayul ditayangkan terus-terus kan mau bagaimana? Pungkasnya.(red/ Indra-kh)***


Kado 60 Tahun Dari Helsinki

0 comments

Image hosting by Photobucket

Bagi manusia, usia 60 tahun adalah masa-masa sepuh. Waktu bagi sebagian orang untuk mulai 'menikmati' saat-saat rehat dari kesibukan pekerjaan. Namun bagi sebuah negara, usia 60 tahun belumlah menjadi usia yang berarti. Coba bandingkan dengan usia negara-negara maju yang telah mencapai ratusan tahun.

Kendati demikian, kita patut berbahagia dan tak perlu berkecil hati. Karena di usianya yang ke-60 ini, Republik Indonesia (RI) mendapatkan sebuah kado spesial dari Helsinki, Finlandia. Kado yang datang hanya dua hari menjelang peringatan kemerdekaan RI itu hadir dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) perdamaian antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sekitar pukul 15.50 WIB, Senin (15/8) kemarin, MenkumHam Hamid Awaluddin, sebagai ketua juru runding RI, dan perwakilan GAM Malik Mahmud telah menandatangani MoU perdamaian RI – GAM.

Pertemuan yang disponsori mantan presiden Finlandia Martti Ahtissaari - yang juga presiden Crisis Management Initiative (CMI) - itu disambut sukacita oleh ribuan bahkan jutaan rakyat Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyaksikannya lewat siaran televisi di halaman Masjid Baiturrahman, rumah-rumah penduduk bahkan kedai-kedai kopi di seluruh wilayah NAD.

Harapan Rakyat Aceh
Perasaan gembira dan harapan terwujudnya kedamaian di bumi serambi Makkah tak hanya dirasakan penduduk yang tinggal di tanah rencong saja, namun juga dirasakan warga Aceh yang tinggal di luar NAD. Seperti juga harapan Ani (22) - warga Sigli, Pidie - dan Syah (25) - warga Pekan Bada, Aceh Besar - yang ditemui CyberMQ di Bandung, Senin (15/8) siang.

Ani, korban tsunami yang kini masih menjalani pendidikan dan pelatihan Pemuda Pelopor Aceh (PPA) di Daarut Tauhiid berharap, perjanjian RI – GAM mampu mengembalikan Aceh kepada suasana yang damai dan kondusif.

“Harapan saya, semoga TNI dan GAM ke depan sama-sama bisa merangkul Aceh kembali ke kondisi yang benar-benar aman, jauh dari konflik sekecil apapun,” kata Ani. Kalaupun ada perbedaan pendapat sebaiknya tak berujung kepada kontak senjata, tutunya penuh harap.

Namun, perempuan yang seluruh anggota keluarganya selamat dari bencana Desember lalu ini mengingatkan agar perjanjian damai antara RI – GAM kali ini tak hanya sebatas tulisan. “Semoga perdamaian ini tak sebatas kata-kata, yang penting itu pengaplikasiannya. Perjanjian ini jangan hanya janji saja, namun di lapangan tetap terjadi konflik padahal kita semua bersaudara,” tandas Ani.

Senada dengan Ani, Syah pun berharap, MoU tersebut akan membawa banyak perubahan bagi penduduk NAD. “Masyarakat Aceh sejak lama mendambakan perdamaian. Kami sudah bosan sekali dengan kekerasan, karena ribuan jiwa telah menjadi korban sia-sia,” ujar Syah.

“Kami semua rakyat Aceh ingin hidup damai ! Orang merasa aman untuk pergi ke sawah, ke gunung, kemana pun untuk mencari nafkah,” tambah pemuda yang kini hanya memiliki Ayah itu. Intinya, tambah Syah, kita bisa kemana-mana tanpa rasa was-was akan terjadi sesuatu terhadap dirinya.

Meskipun begitu, lulusan Fakultas Syariah IAIN Ar Ranniri ini mengaku tetap optimis, perjanjian RI – GAM di Helsinki dapat membawa hasil yang signifikan. Namun dirinya juga mengingatkan agar MoU ini jangan sampai mengulang kesalahan perdamaian-perdamaian sebelumnya, yang hanya dipahami "level" atas kedua belah pihak, sedangkan di kalangan akar rumput tetap bergejolak.

Perjalanan Panjang Damai RI - GAM
Perdamaian antara RI dan GAM menempuh jalan yang panjang, penuh dengan lumuran darah dan mengorbankan banyak jiwa anak negeri. Memang, MoU Helsinki bukanlah perjanjian pertama antara kedua belah pihak. Beberapa perjanjian sebelumnya tercatat pernah dilakukan pemerintah RI dan GAM.

Setelah 'tak disentuh' di era Orde baru, masalah perdamaian Aceh ini mulai mendapat perhatian kembali pada era pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada pertengahan Mei 2000, RI dan GAM sepakat menandatangani perjanjian jeda kemanusiaan di Aceh.

Langkah tersebut diikuti Pemerintahan Megawati. Pada 9 Desember 2002, Pemerintah RI dan GAM 'meneken' perjanjian di Jenewa, Swiss. Namun hasil perjanjian yang diberi nama CoHA -- Cessation of Hostilities Agreement-- itu tak berdampak sama sekali, bahkan kekerasan tetap berlangsung di bumi Nangroe.

Bencana gelombang tsunami 26 Desember 2004, yang menyapu hampir seluruh wilayah NAD, akhirnya mampu mendorong kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan baru di meja perundingan.

Namun, kekerasan dan kontak senjata yang sejak lama kerap dialami warga tanah rencong – terutama di daerah basis GAM – telah menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis yang berat bagi warga Aceh.

Seperti penuturan Ani kepada CyberMQ. Penduduk salah satu daerah yang disebut-sebut sebagai wilayah basis GAM ini mengaku sangat khawatir dan ketakutan jika pulang ke daerah asalnya. Oleh karena itu, dirinya mengaku lebih sering tinggal di Banda Aceh dibanding Pidie.

“Ke Pidie itu, jangankan wartawan, relawan saja kadang-kadang tak berani,” kata dia. Bahkan setelah tsunami saya jarang pulang, karena ketika kembali ke sana (Pidie – red) kita diwajibkan lapor ke Koramil terdekat, untuk memberitahukan berapa hari kita akan tinggal dan kapan akan pulang.

Karena kondisi yang rawan itulah, tutur Mahasiswi Biologi IAIN Ar Ranniri ini, masyarakat menggalakan kegiatan ronda secara bergiliran siang maupun malam. Hal tersebut perlu dilakukan, menurutnya untuk mencegah timbulnya aksi kekerasan.

Ketika CyberMQ menanyakan kepadanya, apakah ada anggota keluarganya yang turut menjadi korban konflik Aceh, dengan mata sedikit berkaca-kaca, Ani menjawab bahwa keponakan 'mamaknya' ada yang menjadi korban. “Keponakan mamak yang menjadi anggota GAM meninggal pada 2004 karena ditembak, tapi saya 'nggak' sanggup bercerita bagaimana kondisinya saat itu.” kata dia.

Pengalaman Syah berbeda dengan Ani. Pemuda yang telah kehilangan Ibu dan seluruh saudaranya dan sempat terseret gelombang sejauh 1 km dalam bencana tsunami 26 Desember 2004 lalu ini menilai kondisi keamanan di daerahnya relatif lebih kondusif dibanding Pidie.

“Sebelum tsunami, hanya daerah tertentu saja yang rawan keamanan. Seperti di sana (pekan Bada – red), hanya di daerah pingiran saja biasa terjadi kontak senjata,” tutur syah. “Tak semua wilayah Aceh itu rawan,” tambahnya.

Arti Kemerdekaan
Menyambut peringatan kemerdekaan RI ke 60, pendapat orang tentang definisi kemerdekaan tentu sangat beragam. Namun, bagi Ani dan Syah, seperti juga rakyat Aceh lainnya, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah hadirnya rasa aman dan damai bagi mereka. Di mana rakyat dapat bebas melakukan segala sesuatu tanpa dihantui rasa takut, namun tetap dalam koridor norma.

Semoga saja, perjanjian perdamaian RI – GAM di Helsinki, Senin kemarin dapat menjadi fase bersejarah untuk menghentikan aksi kekerasan dan pertumpahan darah di kedua belah pihak. Agar perjanjian tersebut tak hanya tertuang di atas kertas, namun benar-benar menjadi kado yang indah di peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-60 ini. (red/ indra-kh)***


    Image hosting by Photobucket
    • Indra KH
    • Content Dev, IT Documentation
    • Bandung, Jawa Barat, Indonesia
    • My Profile!
    • Chat with Indra KH

RECENT POST

ARCHIVES

BLOGROLL

LINKS

BREAKFAST

Google



    cybermq


blog-indonesia

Indonesian Muslim 

Blogger

karyacipta





Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x


"Hit
Online College Degree