Tanah Lapang Hanya Tinggal Cerita

0 comments


“Gak tau tuh, anak-anak sekarang maen bolanya pada di mana ?” Kata-kata itu meluncur dari mulut Anto (26), warga Cipinang Melayu, Jakarta Timur saat ditemui CyberMQ, Rabu (22/6) kemarin. Anto mengeluhkan lenyapnya tanah lapang yang dulu sering dipakai warga untuk bermain sepakbola.

“Sejak lapangan itu disulap menjadi perumahan dan tiang listrik tinggi (saluran udara tegangan ekstra tinggi – red), anak-anak kampung kami semakin sulit mencari area tempat bermain,” kata Anto. “Untuk maen bola kita harus mencari lapangan ke luar kampung,” tambah dia.

Kendati daerah Cipinang Melayu sejak lama telah dipadati kawasan pemukiman, karena merupakan daerah pasar, namun dua dekade lampau lapangan-lapangan tempat bermain anak-anak itu masih banyak ditemui.

Menurut Anto, dirinya dulu masih memiliki kesempatan untuk memainkan permainan tradisional di lapangan tersebut.

“Meskipun rumah penduduk sudah banyak, karena Cipinang ini daerah pasar, namun kita masih bisa bermain. Saya dulu biasanya suka maen ketok lele, galah asin, benteng, karet, atau balap mobil-mobilan dari bambu !" Tutur Anto bersemangat. Nilai kebersamaan di antara kita tetap terjaga, tambah dia.

Namun kini, kata dia, lahan untuk bermain itu sudah hilang. Jakarta sudah banyak berubah, ujarnya. “Di depan rumah saya saja sekarang sudah menjadi fly over. Lalu di sekitar kampung kami sudah ada jalan tol Halim,” kata Anto.

Akibat terkikisnya ruangan terbuka di kota yang dulu bernama Jayakarta itu, tak salah jika kini kebanyakan anak-anak Jakarta akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain di rumah, main play station, atau menonton TV.

***

Kian padatnya penduduk kota Jakarta yang kini mencapai sekitar 8.792.000 orang lebih, dan bertambah di siang hari seiring datangnya pekerja dari kota sekitar Jakarta, menjadi penyebab tergusurnya lahan-lahan kosong di Ibukota. Kawasan terbuka hijau itu kini banyak disulap menjadi kawasan pemukiman, apartemen, pendidikan perkantoran dan kawasan bisnis.

Pemda DKI Jakarta maupun instansi formal lainnya, memang kewalahan memenuhi kebutuhan rumah untuk warga kota yang memiliki luas sekitar 661,52 km² ini.

Pada tahun 2001 saja, seperti dikutip Kompas (14/8/01) kebutuhan rumah bagi warga Jakarta sudah mencapai angka sekitar 64.500 unit per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu sudah pasti akan semakin banyak lahan terbuka di DKI Jakarta yang beralih fungsi.

Nirwono Joga, seorang Arsitek lanskap dalam artikelnya di harian Kompas, 4 Juni lalu menyebutkan luas ruang terbuka hijau di Jakarta mengalami penyusutan yang drastis. Menurut dia, pada tahun 1972 Jakarta masih memiliki sekitar ruang terbuka hijau seluas 32.110,30 ha, namun pada tahun 2005 luas lahan itu menyusut menjadi hanya sekitar 6.900 ha.

***

Alih fungsi lahan di Ibukota memang tak pandang bulu. Jangankan tanah lapang milik masyarakat, yang begitu mudah berubah menjadi kawasan pemukiman atau pusat bisnis, lahan yang memiliki nilai sejarah pun kalau perlu tidak segan untuk digusur.

Tengok saja rencana pengalihan fungsi stadion Menteng di Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat yang ramai beberapa waktu lalu.

Untuk proyek senilai 40 miliar, Pemda DKI Jakarta bersikeras untuk merubah stadion bersejarah itu untuk dialih fungsikan menjadi proyek taman kota. Padahal lapangan yang didirikan tahun 1921 dengan nama Voetbalbond Indiesche Omstreken itu memiliki nilai sejarah yang panjang. Untung saja, keinginan Pemda DKI Jakarta untuk merubah stadion Menteng tersebut mental untuk sementara setelah pihak DPRD DKI Jakarta menolak keinginan tersebut.

Semoga saja, ke depan tidak ada lagi tanah-tanah lapang di Jakarta yang beralih fungsi. Karena jika tetap seperti itu, semakin sulitlah anak-anak kota pelabuhan muara Sungai Ciliwung itu mendapatkan tempat bermain. Dan tanah lapang memang hanya tinggal cerita........(red/mikha)***


Busung Lapar di Lumbung Padi

0 comments

Merebaknya kasus busung lapar dan gizi buruk di Indonesia sontak mengagetkan perhatian berbagai pihak. Betapa tidak, di saat bangsa ini sedang gencar-gencarnya menyelesaikan permasalahan satu-persatu, seperti pemberantasan masalah korupsi, masalah tersebut tiba-tiba saja mengemuka.

Munculnya kasus busung lapar di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tentu menjadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi di tanah air ? Bukankah NTB terkenal sebagai salah satu lumbung padi nasional ?

Seperti pernah diberitakan CyberMQ beberapa waktu lalu, laporan Dinas Kesehatan NTB, menyebutkan hingga pekan kedua Bulan Juni, penderita busung lapar di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah berjumlah 865 kasus - 22 orang diantaranya meninggal dunia. Sementara kondisi gizi buruk yang dialami bayi di NTB diperkirakan mencapai 10% dari jumlah 449.000 bayi.

Kasus serupa ternyata bukan hanya terjadi di NTB, namun merembet ke provinsi lain, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di Jakarta, meski dilaporkan tidak ada kasus busung lapar, namun ternyata kasus gizi buruk banyak ditemukan. Dinas Kesehatan DKI Jakarta, mencatat sedikitnya 8.455 balita menderita gizi buruk di ibukota negara itu.

Menteri Kesehatan RI Dr Siti Fadilah Supari SpJP (K), saat menghadiri Muktamar III Assosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) di Yogyakarta, bulan lalu bahkan menetapkan kasus busung lapar ini sebagai peristiwa Kondisi Luar Biasa (KLB) Nasional. Saat itu, Menkes mengakui bahwa sebenarnya sekitar 8 persen anak balita di Tanah Air menderita penyakit ini.

Penyakit busung lapar atau secara ilmiah disebut Marasmus Kwasiorkor di ambil dari istilah di Afrika, karena ditemukan di banyak bagian benua hitam yang sering dilanda kekeringan dan perang, sehingga wabah busung lapar dapat dengan mudah terjadi.

Kwasiorkor merupakan sindroma (kumpulan gejala) akibat kekurangan Kalori dan protein dalam jangka waktu lama. Kekurangan asupan gizi pada kwasiorkor adalah karena kurang pangan, bukan karena suatu penyakit dasar yang menyebabkan penderitanya kurang gizi.

Busung lapar, diketahui ada tiga jenis yakni marasmus, kwasiorkor dan marasmus-kwasiorkor.

Marasmus, adalah jenis penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan karbohidrat, sehingga penderita akan mengalami bengkak-bengkak pada bagian wajah. Sedangkan kwasiorkor, yakni penyakit yang diakibatkan kekurangan protein pada tubuh sehingga penderita akan terlihat kurus seperti kulit membalut tulang.

Kepada CyberMQ, dr. Kunkun K Wiramihardja, dipl. Nutr menjelaskan bahwa busung lapar adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan zat gizi, yang berasal dari makanan dalam jangka waktu panjang. Gejala yang muncul adalah terjadi bengkak di daerah kaki, perut kembung penuh dengan air, tangan kurus, muka kurus, tapi perut semakin buncit. Buncitnya bukan karena asupan makanan, tetapi justru karena banyak diisi air. Ini mengindikasikan kekurangan gizi dalam tingkat yang berat.

Pakar gizi dari Universitas Padjadjaran tersebut menambahkan bahwa penyakit ini bisa terjadi pada semua individu, tidak hanya balita. Hanya papar dr Kunkun yang paling sensitif adalah balita.

“Balita itu paling rentan terkena penyakit ini. Pada balita cepat sekali terlihat gejala-gejalanya. Tetapi, ciri yang muncul menandakan bahwa penyakitnya kronis, dan berarti ia sudah lama menderita penyakit tersebut. Golongan balita memang paling rentan kekurangan energi dan protein,” kata dia. (red/mikha)***


    Image hosting by Photobucket
    • Indra KH
    • Content Dev, IT Documentation
    • Bandung, Jawa Barat, Indonesia
    • My Profile!
    • Chat with Indra KH

RECENT POST

ARCHIVES

BLOGROLL

LINKS

BREAKFAST

Google



    cybermq


blog-indonesia

Indonesian Muslim 

Blogger

karyacipta





Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x


"Hit
Online College Degree