Kado 60 Tahun Dari Helsinki


E-mail this post



Remember me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...



Image hosting by Photobucket

Bagi manusia, usia 60 tahun adalah masa-masa sepuh. Waktu bagi sebagian orang untuk mulai 'menikmati' saat-saat rehat dari kesibukan pekerjaan. Namun bagi sebuah negara, usia 60 tahun belumlah menjadi usia yang berarti. Coba bandingkan dengan usia negara-negara maju yang telah mencapai ratusan tahun.

Kendati demikian, kita patut berbahagia dan tak perlu berkecil hati. Karena di usianya yang ke-60 ini, Republik Indonesia (RI) mendapatkan sebuah kado spesial dari Helsinki, Finlandia. Kado yang datang hanya dua hari menjelang peringatan kemerdekaan RI itu hadir dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) perdamaian antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sekitar pukul 15.50 WIB, Senin (15/8) kemarin, MenkumHam Hamid Awaluddin, sebagai ketua juru runding RI, dan perwakilan GAM Malik Mahmud telah menandatangani MoU perdamaian RI – GAM.

Pertemuan yang disponsori mantan presiden Finlandia Martti Ahtissaari - yang juga presiden Crisis Management Initiative (CMI) - itu disambut sukacita oleh ribuan bahkan jutaan rakyat Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyaksikannya lewat siaran televisi di halaman Masjid Baiturrahman, rumah-rumah penduduk bahkan kedai-kedai kopi di seluruh wilayah NAD.

Harapan Rakyat Aceh
Perasaan gembira dan harapan terwujudnya kedamaian di bumi serambi Makkah tak hanya dirasakan penduduk yang tinggal di tanah rencong saja, namun juga dirasakan warga Aceh yang tinggal di luar NAD. Seperti juga harapan Ani (22) - warga Sigli, Pidie - dan Syah (25) - warga Pekan Bada, Aceh Besar - yang ditemui CyberMQ di Bandung, Senin (15/8) siang.

Ani, korban tsunami yang kini masih menjalani pendidikan dan pelatihan Pemuda Pelopor Aceh (PPA) di Daarut Tauhiid berharap, perjanjian RI – GAM mampu mengembalikan Aceh kepada suasana yang damai dan kondusif.

“Harapan saya, semoga TNI dan GAM ke depan sama-sama bisa merangkul Aceh kembali ke kondisi yang benar-benar aman, jauh dari konflik sekecil apapun,” kata Ani. Kalaupun ada perbedaan pendapat sebaiknya tak berujung kepada kontak senjata, tutunya penuh harap.

Namun, perempuan yang seluruh anggota keluarganya selamat dari bencana Desember lalu ini mengingatkan agar perjanjian damai antara RI – GAM kali ini tak hanya sebatas tulisan. “Semoga perdamaian ini tak sebatas kata-kata, yang penting itu pengaplikasiannya. Perjanjian ini jangan hanya janji saja, namun di lapangan tetap terjadi konflik padahal kita semua bersaudara,” tandas Ani.

Senada dengan Ani, Syah pun berharap, MoU tersebut akan membawa banyak perubahan bagi penduduk NAD. “Masyarakat Aceh sejak lama mendambakan perdamaian. Kami sudah bosan sekali dengan kekerasan, karena ribuan jiwa telah menjadi korban sia-sia,” ujar Syah.

“Kami semua rakyat Aceh ingin hidup damai ! Orang merasa aman untuk pergi ke sawah, ke gunung, kemana pun untuk mencari nafkah,” tambah pemuda yang kini hanya memiliki Ayah itu. Intinya, tambah Syah, kita bisa kemana-mana tanpa rasa was-was akan terjadi sesuatu terhadap dirinya.

Meskipun begitu, lulusan Fakultas Syariah IAIN Ar Ranniri ini mengaku tetap optimis, perjanjian RI – GAM di Helsinki dapat membawa hasil yang signifikan. Namun dirinya juga mengingatkan agar MoU ini jangan sampai mengulang kesalahan perdamaian-perdamaian sebelumnya, yang hanya dipahami "level" atas kedua belah pihak, sedangkan di kalangan akar rumput tetap bergejolak.

Perjalanan Panjang Damai RI - GAM
Perdamaian antara RI dan GAM menempuh jalan yang panjang, penuh dengan lumuran darah dan mengorbankan banyak jiwa anak negeri. Memang, MoU Helsinki bukanlah perjanjian pertama antara kedua belah pihak. Beberapa perjanjian sebelumnya tercatat pernah dilakukan pemerintah RI dan GAM.

Setelah 'tak disentuh' di era Orde baru, masalah perdamaian Aceh ini mulai mendapat perhatian kembali pada era pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada pertengahan Mei 2000, RI dan GAM sepakat menandatangani perjanjian jeda kemanusiaan di Aceh.

Langkah tersebut diikuti Pemerintahan Megawati. Pada 9 Desember 2002, Pemerintah RI dan GAM 'meneken' perjanjian di Jenewa, Swiss. Namun hasil perjanjian yang diberi nama CoHA -- Cessation of Hostilities Agreement-- itu tak berdampak sama sekali, bahkan kekerasan tetap berlangsung di bumi Nangroe.

Bencana gelombang tsunami 26 Desember 2004, yang menyapu hampir seluruh wilayah NAD, akhirnya mampu mendorong kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan baru di meja perundingan.

Namun, kekerasan dan kontak senjata yang sejak lama kerap dialami warga tanah rencong – terutama di daerah basis GAM – telah menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis yang berat bagi warga Aceh.

Seperti penuturan Ani kepada CyberMQ. Penduduk salah satu daerah yang disebut-sebut sebagai wilayah basis GAM ini mengaku sangat khawatir dan ketakutan jika pulang ke daerah asalnya. Oleh karena itu, dirinya mengaku lebih sering tinggal di Banda Aceh dibanding Pidie.

“Ke Pidie itu, jangankan wartawan, relawan saja kadang-kadang tak berani,” kata dia. Bahkan setelah tsunami saya jarang pulang, karena ketika kembali ke sana (Pidie – red) kita diwajibkan lapor ke Koramil terdekat, untuk memberitahukan berapa hari kita akan tinggal dan kapan akan pulang.

Karena kondisi yang rawan itulah, tutur Mahasiswi Biologi IAIN Ar Ranniri ini, masyarakat menggalakan kegiatan ronda secara bergiliran siang maupun malam. Hal tersebut perlu dilakukan, menurutnya untuk mencegah timbulnya aksi kekerasan.

Ketika CyberMQ menanyakan kepadanya, apakah ada anggota keluarganya yang turut menjadi korban konflik Aceh, dengan mata sedikit berkaca-kaca, Ani menjawab bahwa keponakan 'mamaknya' ada yang menjadi korban. “Keponakan mamak yang menjadi anggota GAM meninggal pada 2004 karena ditembak, tapi saya 'nggak' sanggup bercerita bagaimana kondisinya saat itu.” kata dia.

Pengalaman Syah berbeda dengan Ani. Pemuda yang telah kehilangan Ibu dan seluruh saudaranya dan sempat terseret gelombang sejauh 1 km dalam bencana tsunami 26 Desember 2004 lalu ini menilai kondisi keamanan di daerahnya relatif lebih kondusif dibanding Pidie.

“Sebelum tsunami, hanya daerah tertentu saja yang rawan keamanan. Seperti di sana (pekan Bada – red), hanya di daerah pingiran saja biasa terjadi kontak senjata,” tutur syah. “Tak semua wilayah Aceh itu rawan,” tambahnya.

Arti Kemerdekaan
Menyambut peringatan kemerdekaan RI ke 60, pendapat orang tentang definisi kemerdekaan tentu sangat beragam. Namun, bagi Ani dan Syah, seperti juga rakyat Aceh lainnya, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah hadirnya rasa aman dan damai bagi mereka. Di mana rakyat dapat bebas melakukan segala sesuatu tanpa dihantui rasa takut, namun tetap dalam koridor norma.

Semoga saja, perjanjian perdamaian RI – GAM di Helsinki, Senin kemarin dapat menjadi fase bersejarah untuk menghentikan aksi kekerasan dan pertumpahan darah di kedua belah pihak. Agar perjanjian tersebut tak hanya tertuang di atas kertas, namun benar-benar menjadi kado yang indah di peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-60 ini. (red/ indra-kh)***


0 Responses to “Kado 60 Tahun Dari Helsinki”

Leave a Reply

      Convert to boldConvert to italicConvert to link

 


    Image hosting by Photobucket
    • Indra KH
    • Content Dev, IT Documentation
    • Bandung, Jawa Barat, Indonesia
    • My Profile!
    • Chat with Indra KH

Previous posts

ARCHIVES

BLOGROLL

LINKS

BREAKFAST

Google



    cybermq


blog-indonesia

Indonesian Muslim 

Blogger

karyacipta





Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x


"Hit
Online College Degree