Quo Vadis, Televisi Kita ?


E-mail this post



Remember me (?)



All personal information that you provide here will be governed by the Privacy Policy of Blogger.com. More...



Image hosting by Photobucket

Henri (31) mengaku heran mendengar anaknya yang masih balita mengucapkan kata-kata tertentu yang tak ia mengerti. Bahkan ungkapan-ungkapan yang biasa ngetrend di kalangan ABG, semacam "So What Gitu Loh.....?" Meluncur begitu saja dari mulut Putri (3). Namun, setelah Henri menyelidiki lebih dalam, ternyata ungkapan-ungkapan yang kerap dikatakan Putri ini berasal dari tayangan televisi. "Ternyata televisi ini paling mudah mempengaruhi audiencenya, termasuk anak-anak, karena sifatnya yang audio visual" kata Henri.

Cerita Suparno (44) lain lagi. Guru pada salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota Bandung ini mengaku prihatin dengan perubahan sikap beberapa siswanya beberapa tahun belakangan ini. Kepada CyberMQ, Senin (22/8) Suparno mengeluhkan meningkatnya jumlah siswa yang bersikap "kurang sopan" terhadap guru. Padahal tambah dia, di jamannya dulu siswa sekolah itu sangat menghormati para guru.

"Saya juga heran, kenapa di saat jaman semakin maju, nilai-nilai moral dan kesopanan para siswa justru semakin memprihatinkan," katanya.

Guru yang telah mengajar selama dua dekade ini mensinyalir maraknya tayangan televisi yang kurang mendidik menjadi salah satu penyebab menurunnya tata krama siswa terhadap guru. "Sinetron-sinetron remaja kita kebanyakan kurang memiliki nilai edukatif," ujar Suparno. Nilai-nilai manfaatnya sangat minim, tambah dia. "Ada yang menceritakan para siswa melawan guru, pergaulan siswa yang terlampau bebas, bahkan sosok guru ada yang digambarkan sebagai sosok yang bloon," keluh Suparno.

Penilaian senada diungkapkan penyanyi Hedi Yunus. Salah seorang pentolan kelompok musik Kahitna ini menilai, sinetron-sinetron yang menceritakan kondisi sekolah-sekolah atau pelajar jaman sekarang tidak mendidik. "Kebanyakan adegan marah-marah, melawan guru, bahkan berantem. Memprihatinkan sekali. Tayangan seperti itu harusnya dihentikan. Walaupun menurut para pembuat sinetron, tontonan itu ratingnya tinggi, banyak ditonton. Namun hal itu menurut saya sangat tidak mendidik buat anak sekolah," ungkap Hedi kepada CyberMQ bulan Desember lalu.

***

Dewasa ini tak bisa dipungkiri, televisi merupakan salah satu media yang paling berpengaruh di masyarakat. Hampir sebagian besar penduduk dunia sulit dipisahkan dengan "kotak ajaib" ini. Seperti juga di Indonesia. Televisi menjadi menu sehari-hari untuk berbagai kalangan dan usia.

Seperti dua sisi mata uang, dalam berbagai hal kita akan berhadapan dengan dua sisi yang bertolak belakang, baik dan buruk. Tak terkecuali televisi. Selain memiliki manfaat yang banyak, tayangan lacar kaca diakui memiliki dampak buruk yang dapat membahayakan, terutama bagi anak-anak.

Di antara berbagai media massa, televisi memang memainkan peran yang terbesar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu dini bagi bagi anak-anak. Hal ini disebabkan para orang tua sangat sedikit yang mau mengarahkan tontonan anak mereka. Bahkan bagi orang tua yang keduanya bekerja, boleh jadi anak mereka lebih banyak "ditemani" televisi dibanding orang tua. Karakter televisi yang tak memisahkan audiencenya, termasuk anak-anak ini beresiko tinggi terhadap perkembangan psikologis anak-anak.

Neil Postman, dalam bukunya "The Disappearance of Childhood," pernah menyebutkan tiga karakteristik televisi. Pertama, pesan media ini dapat sampai kepada pemirsanya tanpa memerlukan bimbingan atau petunjuk. Kedua, pesan itu sampai tanpa memerlukan pemikiran. Ketiga, televisi tidak memberikan pemisahan bagi para pemirsanya, artinya siapa saja dapat menyaksikan siaran televisi.

Ketiga karakteristik televisi ini akan berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, akan menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang tak berkualitas, seperti seks, kekerasan dan mistik.

***

Menyikapi dampak negatif tayangan televisi terhadap anak-anak, Hendrayana, S.Sos - seorang pengamat media - meminta para orang tua untuk tak berdiam diri. Peran orang tua sangat diharapkan untuk membimbing anak mereka dalam mengkonsumsi televisi, sehingga anak-anak hanya menyaksikan tontonan yang memang layak mereka saksikan. Hendrayana pun menyarankan para orang tua untuk benar-benar memperhatikan logo "Parental Guide" - seperti bimbingan orang tua, dewasa, remaja, semua umur - pada televisi sebagai panduan untuk dipatuhi.

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) ini berharap, pihak televisi lebih memperhatikan kembali waktu tayang suatu acara. "Saya khawatir dengan jadwal tayang acara televisi. Ambil contoh acara kriminal, yang ditayangkan saat anak masih melek di depan televisi," katanya. Hendrayana menambahkan, sebaiknya acara bermuatan edukasi digeser ke prime time, sementara acara mistik, dan kekerasan dipindah ke tengah malam. Siapa tahu masyarakat menjadi makin dewasa, dan makin cerdas untuk memilih tayangan.

Kendati begitu, Hendra membenarkan kalau pihak televisi mengalami kesulitan dalam mengatur program acara dan waktu tayang karena terkait industri, di mana usaha televisi harus tetap jalan dan menjangkau sebanyak-banyak audience.

Sandi Ekayuda, program manager di sebuah Production House (PH) yang biasa mensuplai acara ke berbagai televisi tanah air mengungkapkan hal senada. Ia mengaku prihatin dengan jam tayang televisi. Sandi memberi contoh promo acara untuk dewasa, yang kerap ditayangkan di waktu prime time. "Program acara untuk 17+ memang ditayangkan tengah malam, namun kadang promonya di saat anak-anak masih menonton televisi. Memang, promo itu hanya berkisar 30 detik - 1 menit, namun pasti membekas di pikiran anak-anak," kata Sandi. "Saya khawatir anak-anak menjadi lebih dewasa sebelum waktunya," tambah dia.

Menurutnya tayangan televisi di tanah air kini masih berkutat pada VHS - Violence, Horror dan Seks. Untuk itu, Sandi berharap, Komisi Penyiaran Indonesia bisa lebih memiliki power untuk menekan stasiun TV untuk lebih proporsional dalam jam tayang.

Alumnus jurusan broadcasting Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Ilmu Komunikasi Unpad ini memandang sudah saatnya televisi khusus anak hadir di Indonesia. Ia pun tak sependapat jika ada anggapan stasiun televisi khusus anak tak layak jual. "Audience anak-anak kan sangat banyak, produk anak juga sangat banyak, jadi kalau terkait industri televisi, saya pikir televisi dengan segmen anak tetap bisa layak jual," tuturnya.

***

Aep Syaefullah, S.Ag, M.Ag, staff program di sebuah PH mengaku gembira sekaligus prihatin melihat trend tayangan televisi saat ini, terutama dengan maraknya program relijius atau spiritual. Aep menilai visualisasi sisi relijius dalam tayangan televisi kurang edukatif.

Aep mengatakan : "Tayangan Ilahi-ilahi-an yang marak sekarang ini agak kurang mengandung tadbir, ibroh dan hikmah bagi kehidupan manusia. Sisi relijius yang diangkatnya penuh dengan mistis, supralogis, tidak empiris, dan tak rasional. Padahal kalau kita berbicara terkait Habluminannas (hubungan antar manusia - red) itu pasti rasional. Kecuali kalau kita berbicara di luar manusia, itu boleh tak rasional. Namun jangan divisualisasikan, seperti visualisasi jin, syetan, itu nggak perlu menurut saya."

Lulusan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menilai fenomena tayangan di televisi itu sudah set back ke masa lalu. "Kalau dulu ada sundel bolong, beranak dalam kubur, sekarang pun masih seperti itu, namun dengan versi yang tak jauh berbeda," kata dia. Ia mengaku tak mengetahui jelas penyebab hal itu. Apakah karena kreatornya, sineasnya, televisinya atau justru mental masyakarat yang masih suka.

"Quo Vadis televisi kita ? Ditengah menggeliatnya media, masa sih audience digempur oleh konten yang kurang berkualitas. Berarti tak berorientasi jangka panjang," tambah Aep.

Menurutnya pembenahan tayangan televisi harus dimulai dari semua sisi. Pihak televisi, para sineas, dan elemen terkait harus membicarakan arah media, mau dibawa kemana televisi ini ?

Sebagai stake holder televisi, sudah seharusnya masyarakat diperhatikan, kata dia. "Kepentingan public interest adalah sesuatu yang harus menjadi prioritas. Kalau mistik dan takhayul ditayangkan terus-terus kan mau bagaimana? Pungkasnya.(red/ Indra-kh)***


0 Responses to “Quo Vadis, Televisi Kita ?”

Leave a Reply

      Convert to boldConvert to italicConvert to link

 


    Image hosting by Photobucket
    • Indra KH
    • Content Dev, IT Documentation
    • Bandung, Jawa Barat, Indonesia
    • My Profile!
    • Chat with Indra KH

Previous posts

ARCHIVES

BLOGROLL

LINKS

BREAKFAST

Google



    cybermq


blog-indonesia

Indonesian Muslim 

Blogger

karyacipta





Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x


"Hit
Online College Degree